04 Mei 2016

MELARANG DIRI UNTUK SAKIT




Saat dalam pendidikan menjadi imam, alias masih frater, saya memiliki ketakutan. Bukan ketakutan dikeluarkan karena nakal atau karena nilai tidak mencukupi target, tetapi takut sakit. Iya, saya takut sakit dalam taraf cukup mengkhawatirkan sehingga harus istirahat di kamar, makanan dan minuman diambilkan, dsb. Pendek kata, karena sakit itu lalu saya harus tergantung kepada orang lain. Lha, saya sangat takut berada dalam situasi tersebut.
Sejujurnya sih, bukan sakit itu yang saya takutkan, melainkan akibat sakit itu yang membuat saya harus bergantung pada orang lain. Pasalnya, saya ini jenis manusia mandiri yang meyakini sungguh bahwa segala sesuatu lebih enak bila saya kerjakan sendiri. Saya bisa merasa tersinggung atau terhina ketika harus bergantung pada orang lain. Dan situasi sakit inilah yang saya benci, apalagi ketika saya harus terbaring lemas di kamar atau di rumah sakit.
Syukur kepada Allah, selama pendidikan di seminari saya tidak pernah mengalami sakit yang kemudian mengharuskan saya berbaring lemas di tempat tidur. Selama sekian tahun saya selalu sehat walafiat. Paling banter ya sakit flu, pusing, batuk, dan masuk angin. Sakitnya ringan-ringan dan obatnya pun sederhana, yakni istirahat cukup dan banyak makan.

02 Februari 2016

MAKANAN ITU KENANGAN

Besok di surga itu ya kami makan nasgor dan migor bersama.

Banyak orang punya makanan favorit. Saya sendiri memliki makanan favorit yakni nasi goreng dan mi goreng. Kedua jenis makanan ini adalah makanan yang tidak bisa saya tolak ketika ditawarkan kepada saya. Saya rasa setiap dari kita pasti juga punya makanan favorit yang tidak bisa kita tolak ketika dihadapkan kepada kita.
Teman saya ada yang suka sayur lodeh. Yang lain lagi suka dengan lele goreng, swike, jajanan pasar seperti lemper, lentho (olahan kedelai), bubur sum-sum, dsb. Yang jelas masing-masing punya favorit makanan sendiri-sendiri. Meski jenis makanannya berbeda-beda, namun ada satu kesamaan latar belakang, yakni makanan itu berasal dari kenangan masa lalu. Di sini saya baru sadar bahwa biasanya ada ikatan yang kuat antara makanan favorit kita dengan memori masa kecil. Bahwa apa yang dulunya disajikan oleh orangtua di rumah, maka pada umumnya itulah masakan favorit kita.
Saya bisa mengatakan demikian karena saya juga memiliki pengalaman yang sama. Bahwa nasi goreng sama mi goreng itu menjadi favorit karena terlebih dahulu sudah menjadi makanan yang memorable bagi saya. Pasalnya ini adalah makanan yang biasa dimasak oleh bapak ibu saya sewaktu saya masih kecil. Nasgor bapak saya itu nasgor paling enak yang pernah saya makan, sedangkan mi goreng ibu saya itu jelas yang paling nikmat sedunia.

16 Januari 2016

RAMAHLAH TERHADAP ORANG SUSAH



 
Saya punya banyak hal yang saya percaya dan pegang teguh. Dari kepercayaan yang serius, seperti percaya bahwa Yesus adalah sabda Allah yang menjadi manusia, sampai yang praktis sehari-hari seperti percaya bahwa kalau langit mendung maka biasanya akan segera hujan. Oh iya, entah mengapa, saya juga percaya sekali bahwa hari potong rambut terbaik bagi saya adalah hari Senin. Saya juga percaya setengah mati bahwa film-film korea itu selalu bagus, sebagaimana juga film-film Jackie Chan. Saya percaya bahwa mencintai itu jelas harus memiliki dan omong kosong tentang cinta yang tidak harus memiliki karena itu kemudian hanya mendatangkan derita dan siksaan. Saya percaya bahwa bakat terpendam saya adalah menulis dan entah kapan kelak saya akan menulis sebuah buku, minimal sebuah buku resep masakan atau buku doa sebelum dan sesudah makan. Jhaha!!

Dari sekian banyak itu, saya punya satu kepercayaan yang mendasar dalam hidup saya. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki kesusahannya sendiri. Apa pentingnya mempercayai hal ini? Dengan mempercayai hal ini, maka setidaknya saya menjadi berhati-hati untuk tidak dengan mudah menghakimi. Ini kutipan Jonathan Anthony Burkett, “You know my name, not my story. You've heard what I've done, but not what I've been through.” Bagi saya kata-kata dalam bahasa inggris ini selain enak di dengar, namun juga padat makna. Hal ini membuat saya setiap bertemu dengan orang lain dan khususnya orang baru, selalu dalam paradigma untuk menjaga sikap dan memperlakukan mereka dengan penuh hormat. Belum tentu mereka yang banyak tersenyum adalah yang paling bahagia dan tidak pernah susah atau memperoleh masalah.

           

11 Januari 2016

MENJEMPUT KEMATIAN SEBAGAI SEORANG IMAM



Natal 2012 bersama RD Ikwan di Paroki St Petrus Tuban

                Sejak menjadi imam, saya sudah menyaksikan kematian 3 rekan imam se-diosesan. Dari RD Reko Boleng, RD Ikwan Wibowo, sampai yang terakhir adalah RD Kusdianto Tana. Dari ketiga imam ini, kedua imam yang saya sebut terakhir memiliki kenangan yang baik di dalam ingatan dan hati saya. Karena itu, menyaksikan mereka meninggal adalah suatu pengalaman kehilangan mendalam sebagai sesama imam, sesama rekan seperjuangan.
                Meski sedih, namun saya tetap bersukacita. Saya bersukacita karena melihat kesetiaan sebagai seorang imam di akhir hidup mereka. Bahwa para imam yang saya kenal ini kemudian meninggal dan disemayamkan dalam peti dengan memakai pakaian Liturgi sebagai seorang imam, ini membuat saya tersenyum bahagia. Saya bahagia karena mereka sudah memenangkan perlombaan, yakni berlari sampai garis finish sebagai seorang imam. Inilah puncak cita-cita seorang imam, yakni ketika ia mati tetap sebagai imam.
                Saya pun mencita-citakan hal serupa, yakni mati sebagai imam. Saya mencita-citakan hal tersebut terhitung sejak saya sadar betul bahwa tidak mudah mempertahankan hidup imamat ini. Saya sadar hanya dalam kurun waktu 6 bulan imamat saya, tidak terlalu lama. Tantangan dari luar dan kelemahan dari dalam diri menjadi alasan kenapa memang sangat susah hidup sebagai seorang imam yang berjanji untuk selibat, sederhana, dan taat. Karena susah dan beratnya hal ini, maka jalan keluarnya hanya ada dua, yakni ATAU kamu memilih mundur dari hidup imamat ini, ATAU kamu segera mati. Dan saya lebih suka memilih mati. Kalau bisa segera.

17 Desember 2015

SELIBAT: MENCINTAI SANG PENCIPTA




              Imam Katolik seperti saya itu memiliki janji selibat. Selibat secara singkat adalah melajang demi Kerajaan Allah. Praktisnya ya bahwa romo itu tidak menikah. Banyak orang bertanya, “Dimana dikatakan dalam KS tentang situasi hidup “tidak menikah”? Bukankah itu melanggar kodrat di awal penciptaan, dimana Allah Yahwe memberi pesan untuk “beranak-cuculah” (Kejadian)? Pertanyaan ini pernah diutarakan oleh seorang pemudi dari gereja tetangga, saat saya hadir di salah satu acara stasi di wilayah pastoral Mojokerto.
                Ya lalu saya jawab lah dengan mengutip Kitab Suci juga. Dipikirnya kita Katolik lalu tidak tahu Kitab Suci apa? Jhaha!!, “Mbak, coba baca perikop pertama Matius 19, di situ ada alasan mengapa para imam itu tidak menikah”. Ya, nggak tahu dibaca atau tidak sama mbak ini ya. Tapi diandaikan saja demikian lah. Saat mencarinya, saya berharap mbak tersebut akan menemukan bahwa dalam Mat 19:12 Yesus berbicara tentang orang yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. “Itulah kami, mbak! Kami merupakan spesies yang tidak menikah demi Kerajaan Allah!”

04 Desember 2015

Tahbisan Juntos Pandemos generasi kedua: Daeng dan Rio

Teks Misa Tahbisan



Syukur kepada Allah!
Akhirnya pecah telornnyyyaaaa.... Masa yang pecah telor dari angkatan Juntos Pandemos ini cuma si Niko, Rafael, Muliaki, Kiki, Paska, dan Sadan? Mereka ini “pecah telor” sungguh karena bisa naik ke pelaminan untuk mempersunting wanita pujaan mereka masing-masing. Tapi yang saya maksud pecah telor ini adalah buat teman-teman yang baru saja tahbisan, yakni Zakeus Daeng Lio dan Hilario Didakus Nenga Nampar. Maka dengan ini, yang sudah menjadi imam di angkatan Juntos Pandemos ini ada 3 batang, yakni saya sendiri, dan kedua teman kita ini, Daeng dan Rio. Benar kata Yesus, bahwa batang yang terkulai tak akan dipatahkannya. Dijadikannya imam, sodara. Yassalam..., dalam konteks ini, entah saya harus bahagia atau terharu mendengar kutipan Injil tersebut.
Saya sendiri berusaha meluangkan waktu dan duit untuk ikut tahbisan kedua teman kita ini. waktu bisa diatur dan duit bisa ditabung. Pokok saya punya niat untuk berjumpa dengan teman-teman Juntos Pandemos ini sesudah perpisahan kita yang mengharu biru di tahun 2012. Pertanyaan orang yang berpisah adalah, adakah kita akan bertemu lagi di suatu waktu? Dalam rangka itulah, saya bersikeras untuk menghadiri tahbisan ini, yakni demi bertemu teman-teman Samarinda, dari Abah Daeng, Rio Edan, Reman Kupil, dan Heri Hibau.
Saya begitu bersemangat sekaligus khawatir dengan kepergian saya ini. saya bersemangat karena ini adalah kesempatan saya menjejakkan kaki pertama kali di Kalimantan. Namun juga menjadi khawatir karena saya akan menjadi tamu di negeri asing.  Apakah selama 3 hari  malam besok, saya ini diurus dengan baik oleh panitia tahbisan atau malah terlantar di kota Balikpapan?

03 Desember 2015

Saya Menyerah, Saya Menulis Kembali



Sudah setahun lebih dan hampir 2 tahun, blog saya ini tidak saya sentuh. Ia jadi blog yang jablai alias jarang dibelai. “Kasihan sekali dirimu, wahai sayangku”. Bukan bermaksud untuk menelantarkan atau karena saya sudah berpaling hati kepada blog lain, tetapi memang mau bagaimana lagi. Jadwal padat, coy. Dulu sih pengangguran yang dibiayai Gereja (pas masih frater). Lha sekarang sudah tidak nganggur lagi. Malah banyak kerjanya. Ya wajar lah. Itung-itung melunasi dosa atas sekian tahun menjadi pengangguran di seminari. Sekarang memang waktunya untuk kerja. *singsingkan lengan baju*
Maka bila dulu leisure time ketika masih frater banyak diisi dengan tulis menulis. Sekarang leisure time ketika sebagai imam diisi dengan banyak istirahat. Diisi dengan istirahat karena sejak pagi smp malam, saya sering berkegiatan. Namun istirahat di sini tidak berarti tidur. Sekedar rebahan di kamar, lihat TV, atau baca-baca koran saja sudah termasuk istirahat bagi saya saat ini. Tidur siang atau sore sudah jadi barang mahal buat saya. Sudah jarang saya meniduri dipan kayu saya saat siang hari. Tidur saya sekarang ini ya cuma malam saja. Titik.
Jadi, saya sudah hampir 2 tahun undur diri dari urusan tulis menulis yang kemudian dipublikasikan di blog ini. Alasannya itu tadi, sibuk.