Foto 20 tahun lalu |
Hari ini adalah ulang tahun
ibu saya. Dan ini adalah ulang tahun pertama dari ibu saya yang saya rayakan
secara sadar. Lho, jangan salah paham dulu lho ya. Ini terjadi demikian bukan
karena saya adalah anak durhaka yang tidak pernah memperhatikan ibunya macam
Malin Kundang, tetapi karena ada masalah tertentu yang membuatnya menjadi
demikian. Masalahnya itu adalah, ibu saya punya 2 tanggal lahir!! Nah lho,
siapa coba yang tidak bingung coba?
Ibu saya itu lahir tanggal 15
Mei, atau katanya beliau, pas Gunung Merapi meletus. Entah letusan macam apa itu
dan sempat masuk dalam berita atau tidak sebagai bencana nasional yang
menghebohkan seperti lumpur Lapindo Sidoarjo atau jatuhnya pesawat Super Jet
Sukhoi baru-baru ini, saya tidak tahu. Yang pasti, itu pernyataan yang
diturunkan dari ayah beliau a.k.a simbah saya, kepada ibu saya, dan lalu
diturunkan juga kepada saya. Maka, sebagaimana sifat mitos atau Tradisi serta
dogma dalam Gereja, ini adalah pernyataan turun temurun yang harus diyakini
kebenarannya. Jadi, inilah versi pertama kelahiran ibu saya, tanggal 15 Mei.
Namun konon, tanggal kelahiran
ibu saya ini kemudian diubah secara legal oleh kakak perempuannya, yang
sekarang saya sebut sebagai Budhe Endog (Endog merupakan bahasa Jawa yang dipakai untuk menyebut telur ayam
atau bebek atau telur-telur sejenisnya. Dulu
budhe saya ini adalah juragan telur).
Lho mengapa dipalsukan? Kata ibu saya sih, supaya bisa masuk sekolah
secepatnya. Kata beliau, tanggal kelahiran 15 Mei itu membuatnya tidak bisa
mendaftar sekolah dengan segera sebagaimana teman-teman yang lahir dengan tahun
yang sama. Saya sendiri sih kurang paham hitungan tahun ajaran baru untuk masuk
sekolah pada waktu itu, tetapi pokoknya, umur ibu saya pun dipalsukan menjadi
lahir tanggal 30 Januari. Yah…, kompromi yang cukup mengagumkan. Dan inilah
yang menjadi versi kedua ulang tahun ibu saya, yakni tanggal 30 Januari.
Sejarah
konspirasi kongsi jahat untuk menipu dunia pendidikan Indonesia ini sudah saya
ketahui sejak kecil. Sudah terekam sejak lama dalam benak saya, bahwa ibu saya
ini punya 2 versi kelahiran. Namun sayangnya keduanya selalu tercampur dalam
otak saya sehingga saya acap kali kehilangan fokus dan lupa, yang mana ulang
tahun asli ibu saya. Kebingungan ini perlahan-lahan mengaburkan fakta mengenai
hari lahir ibu saya. Selama sekian tahun, saya tidak begitu mempedulikan lagi
sampai-sampai yang saya tahu hanyalah bahwa ibu saya itu lahir kalau tidak di
bulan Januari, ya bulan Mei. Memori mengenai tanggal pastinya sudah hilang sama
sekali.
Lho,
mengapa bisa demikian? Ya, karena seingat saya, kami tidak pernah
memperingati hari lahir si ibu. Parahnya, ibu saya juga tidak pernah menuntut
untuk dipestakan atau diperingati sedemikian rupa oleh kami, suami dan
anak-anaknya. Padahal di hari ulang tahun bapak, adek, atau saya sendiri, setidaknya
anggota keluarga yang lain akan memberikan sekedar ucapan selamat dan ciuman. Namun
hal ini tidak berlaku ketika ulang tahun ibu saya. Kami sering melewatinya
dengan biasa-biasa saja, tanpa memperingatinya. Kalau mengingat-ingat hal ini, kok
rasanya tragis sekali ya nasib ibu saya. Punya suami dan anak-anak kok tidak pernah
menghiraukan hari ulang tahunnya. *Maaf
seribu maaf, duhai emakku.
Tapi syukurlah karena ibu saya
tidak pernah berpikir demikian. Ibu saya memang jenis ibu super yang tidak banyak
memikirkan dirinya sendiri. Yang
pertama-tama diutamakannya adalah kepentingan anak-anak dan suaminya. Dalam hal
ini, memang yang paling diuntungkan adalah kami, karena memiliki sosok ibu yang
demikian. Maka dari itu, pada tahun ini, saya sudah merencakan dan
mempersiapkan jauh-jauh hari untuk merayakan hari ulang tahunnya yang sudah
lama saya lupakan. Kejutannya masih rahasia. Hehehe…
Tetapi
alasan saya memperingati ultah ibu saya ini bukan sekedar sebagai politik balas
budi atas pengurbanannya selama ini lho. Bukan juga sebagai sekedar penebusan
rasa bersalah atas kelalaian saya atas ultahnya selama bertahun-tahun. Sesungguhnya di tahun ini, saya hendak memaknai
hari ultah ibu saya ini secara benar-benar baru. 15 Mei bukan lagi sekedar hari
pengingat kelahiran perempuan bernama Yustina
Sarjiyem Ragil, di desa Krompakan - Yogyakarta, tahun 1961 dulu. 15 Mei
bukan lagi tanggal sebelum 16 Mei ataupun sesudah 14 Mei. Tanggal 15 Mei
menjadi angka yang gaib bagi saya, karena tanggal ini merupakan tanggal dimana rahmat
Allah diwujudnyatakan dan kemudian disiapkan sedemikian rupa bagi kami
sekeluarga, khususnya bagi saya. Dan hebatnya, rencana si CEO Ilahi a.k.a.
Tuhan ini sudah dirancang-Nya sejak tahun 1961. Selisih 4 tahun dari 1957
(tahun kelahiran bapak saya) serta selisih berpuluh-puluh tahun dari 1988 dan
1991 (tahun lahir saya dan adik saya). Entah bagaimana ia merangkai hidup
keempat orang yang berbeda-beda ini sehingga bisa menjadi satu kesatuan yang
pas dan cocok, meski kadang harus berbenturan di sana-sini. Blessing in disguise mungkin ya?
Ah,
bagi saya blessing in disguise ini
sekedar ungkapan profan yang hendak mereduksi peran Tuhan dalam hidup manusia. Lebih
tepatnya, inilah penyelenggaraan ilahi itu! Hidup manusia diatur-Nya sedemikian
rupa, sehingga meskipun seolah-olah kacau dan acak, namun sesungguhnya memiliki
pola di dalamnya. Jejak-jejak tangan Tuhan yang merenda hidup manusia menjadi
“baik adanya” itu terekam jelas di sana, di dalam hidup saya dan keluarga saya,
terkhusus melalui kehadiran ibu saya. Maka, di ultah ibu saya ini, saya
pertama-tama hendak bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan perempuan
sebaik, sekuat, dan selembut ibu saya kepada keluarga kami. Kalau Yesus Kristus
adalah Sabda Allah yang menjadi manusia, maka bagi saya, ibu saya adalah rahmat
Allah yang menjadi manusia. Dan pada tanggal 15 Mei inilah, saya memperingati
kelahiran rahmat itu di tengah -tengah dunia.
Bahwa
ibu saya lahir di tengah-tengah Bulan Maria ini bisa jadi bukan tanpa makna.
Setidaknya bagi saya, ibu saya itu seperti Bunda Maria sendiri yang senantiasa
mengasihi keluarganya dan khususnya Yesus, Puteranya. Ia hidup sebagai sumber
penghiburan dan kekuatan bagi kami sekeluarga. Doa-doanya selalu mengalir
kepada kami semua, dan saya merasakannya. Kelak ketika di surga, saya pun yakin
kalau ibu saya tetap akan mendoakan saya. Cintanya tidak akan berubah
dan justru akan semakin bertambah. Bukankah ia yang dicinta itu sesungguhnya
tidak pernah mati? Ia abadi, sebagaimana cinta itu juga abadi.
Maka,
di hari peringatan ultahnya ini, saya berharap semoga Allah senantiasa
memberikan rahmat dan karunia yang cukup atasnya. Dan melalui tulisan ini, saya
dan adik hendak mengungkapkan betapa kami bersyukur memiliki ibu macam
perempuan satu ini. Peluk dan cium buat
ibu…
Tulisan ini adalah hadiah kejutan bagi ibu saya yang
tercinta
dari anak-anaknya yang juga dicintainya
15 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar