15 Mei 2012

ULANG TAHUN IBU SAYA YANG TERCINTA


Foto 20 tahun lalu
 Hari ini adalah ulang tahun ibu saya. Dan ini adalah ulang tahun pertama dari ibu saya yang saya rayakan secara sadar. Lho, jangan salah paham dulu lho ya. Ini terjadi demikian bukan karena saya adalah anak durhaka yang tidak pernah memperhatikan ibunya macam Malin Kundang, tetapi karena ada masalah tertentu yang membuatnya menjadi demikian. Masalahnya itu adalah, ibu saya punya 2 tanggal lahir!! Nah lho, siapa coba yang tidak bingung coba?
Ibu saya itu lahir tanggal 15 Mei, atau katanya beliau, pas Gunung Merapi meletus. Entah letusan macam apa itu dan sempat masuk dalam berita atau tidak sebagai bencana nasional yang menghebohkan seperti lumpur Lapindo Sidoarjo atau jatuhnya pesawat Super Jet Sukhoi baru-baru ini, saya tidak tahu. Yang pasti, itu pernyataan yang diturunkan dari ayah beliau a.k.a simbah saya, kepada ibu saya, dan lalu diturunkan juga kepada saya. Maka, sebagaimana sifat mitos atau Tradisi serta dogma dalam Gereja, ini adalah pernyataan turun temurun yang harus diyakini kebenarannya. Jadi, inilah versi pertama kelahiran ibu saya, tanggal 15 Mei.

Namun konon, tanggal kelahiran ibu saya ini kemudian diubah secara legal oleh kakak perempuannya, yang sekarang saya sebut sebagai Budhe Endog (Endog merupakan bahasa Jawa yang dipakai untuk menyebut telur ayam atau bebek atau telur-telur sejenisnya. Dulu budhe saya ini adalah juragan telur). Lho mengapa dipalsukan? Kata ibu saya sih, supaya bisa masuk sekolah secepatnya. Kata beliau, tanggal kelahiran 15 Mei itu membuatnya tidak bisa mendaftar sekolah dengan segera sebagaimana teman-teman yang lahir dengan tahun yang sama. Saya sendiri sih kurang paham hitungan tahun ajaran baru untuk masuk sekolah pada waktu itu, tetapi pokoknya, umur ibu saya pun dipalsukan menjadi lahir tanggal 30 Januari. Yah…, kompromi yang cukup mengagumkan. Dan inilah yang menjadi versi kedua ulang tahun ibu saya, yakni tanggal 30 Januari.
Sejarah konspirasi kongsi jahat untuk menipu dunia pendidikan Indonesia ini sudah saya ketahui sejak kecil. Sudah terekam sejak lama dalam benak saya, bahwa ibu saya ini punya 2 versi kelahiran. Namun sayangnya keduanya selalu tercampur dalam otak saya sehingga saya acap kali kehilangan fokus dan lupa, yang mana ulang tahun asli ibu saya. Kebingungan ini perlahan-lahan mengaburkan fakta mengenai hari lahir ibu saya. Selama sekian tahun, saya tidak begitu mempedulikan lagi sampai-sampai yang saya tahu hanyalah bahwa ibu saya itu lahir kalau tidak di bulan Januari, ya bulan Mei. Memori mengenai tanggal pastinya sudah hilang sama sekali.
Lho, mengapa bisa demikian? Ya, karena seingat saya, kami tidak pernah memperingati hari lahir si ibu. Parahnya, ibu saya juga tidak pernah menuntut untuk dipestakan atau diperingati sedemikian rupa oleh kami, suami dan anak-anaknya. Padahal di hari ulang tahun bapak, adek, atau saya sendiri, setidaknya anggota keluarga yang lain akan memberikan sekedar ucapan selamat dan ciuman. Namun hal ini tidak berlaku ketika ulang tahun ibu saya. Kami sering melewatinya dengan biasa-biasa saja, tanpa memperingatinya. Kalau mengingat-ingat hal ini, kok rasanya tragis sekali ya nasib ibu saya. Punya suami dan anak-anak kok tidak pernah menghiraukan hari ulang tahunnya. *Maaf seribu maaf, duhai emakku.
Tapi syukurlah karena ibu saya tidak pernah berpikir demikian. Ibu saya memang jenis ibu super yang tidak banyak memikirkan dirinya sendiri. Yang pertama-tama diutamakannya adalah kepentingan anak-anak dan suaminya. Dalam hal ini, memang yang paling diuntungkan adalah kami, karena memiliki sosok ibu yang demikian. Maka dari itu, pada tahun ini, saya sudah merencakan dan mempersiapkan jauh-jauh hari untuk merayakan hari ulang tahunnya yang sudah lama saya lupakan. Kejutannya masih rahasia. Hehehe…
Tetapi alasan saya memperingati ultah ibu saya ini bukan sekedar sebagai politik balas budi atas pengurbanannya selama ini lho. Bukan juga sebagai sekedar penebusan rasa bersalah atas kelalaian saya atas ultahnya selama bertahun-tahun. Sesungguhnya di tahun ini, saya hendak memaknai hari ultah ibu saya ini secara benar-benar baru. 15 Mei bukan lagi sekedar hari pengingat kelahiran perempuan bernama Yustina Sarjiyem Ragil, di desa Krompakan - Yogyakarta, tahun 1961 dulu. 15 Mei bukan lagi tanggal sebelum 16 Mei ataupun sesudah 14 Mei. Tanggal 15 Mei menjadi angka yang gaib bagi saya, karena tanggal ini merupakan tanggal dimana rahmat Allah diwujudnyatakan dan kemudian disiapkan sedemikian rupa bagi kami sekeluarga, khususnya bagi saya. Dan hebatnya, rencana si CEO Ilahi a.k.a. Tuhan ini sudah dirancang-Nya sejak tahun 1961. Selisih 4 tahun dari 1957 (tahun kelahiran bapak saya) serta selisih berpuluh-puluh tahun dari 1988 dan 1991 (tahun lahir saya dan adik saya). Entah bagaimana ia merangkai hidup keempat orang yang berbeda-beda ini sehingga bisa menjadi satu kesatuan yang pas dan cocok, meski kadang harus berbenturan di sana-sini. Blessing in disguise mungkin ya?
Ah, bagi saya blessing in disguise ini sekedar ungkapan profan yang hendak mereduksi peran Tuhan dalam hidup manusia. Lebih tepatnya, inilah penyelenggaraan ilahi itu! Hidup manusia diatur-Nya sedemikian rupa, sehingga meskipun seolah-olah kacau dan acak, namun sesungguhnya memiliki pola di dalamnya. Jejak-jejak tangan Tuhan yang merenda hidup manusia menjadi “baik adanya” itu terekam jelas di sana, di dalam hidup saya dan keluarga saya, terkhusus melalui kehadiran ibu saya. Maka, di ultah ibu saya ini, saya pertama-tama hendak bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan perempuan sebaik, sekuat, dan selembut ibu saya kepada keluarga kami. Kalau Yesus Kristus adalah Sabda Allah yang menjadi manusia, maka bagi saya, ibu saya adalah rahmat Allah yang menjadi manusia. Dan pada tanggal 15 Mei inilah, saya memperingati kelahiran rahmat itu di tengah -tengah dunia.
Bahwa ibu saya lahir di tengah-tengah Bulan Maria ini bisa jadi bukan tanpa makna. Setidaknya bagi saya, ibu saya itu seperti Bunda Maria sendiri yang senantiasa mengasihi keluarganya dan khususnya Yesus, Puteranya. Ia hidup sebagai sumber penghiburan dan kekuatan bagi kami sekeluarga. Doa-doanya selalu mengalir kepada kami semua, dan saya merasakannya. Kelak ketika di surga, saya pun yakin kalau ibu saya tetap akan mendoakan saya. Cintanya tidak akan berubah dan justru akan semakin bertambah. Bukankah ia yang dicinta itu sesungguhnya tidak pernah mati? Ia abadi, sebagaimana cinta itu juga abadi.
Maka, di hari peringatan ultahnya ini, saya berharap semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan karunia yang cukup atasnya. Dan melalui tulisan ini, saya dan adik hendak mengungkapkan betapa kami bersyukur memiliki ibu macam perempuan satu ini. Peluk dan cium buat ibu…


Tulisan ini adalah hadiah kejutan bagi ibu saya yang tercinta
dari anak-anaknya yang juga dicintainya
15 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar