04 Mei 2016

MELARANG DIRI UNTUK SAKIT




Saat dalam pendidikan menjadi imam, alias masih frater, saya memiliki ketakutan. Bukan ketakutan dikeluarkan karena nakal atau karena nilai tidak mencukupi target, tetapi takut sakit. Iya, saya takut sakit dalam taraf cukup mengkhawatirkan sehingga harus istirahat di kamar, makanan dan minuman diambilkan, dsb. Pendek kata, karena sakit itu lalu saya harus tergantung kepada orang lain. Lha, saya sangat takut berada dalam situasi tersebut.
Sejujurnya sih, bukan sakit itu yang saya takutkan, melainkan akibat sakit itu yang membuat saya harus bergantung pada orang lain. Pasalnya, saya ini jenis manusia mandiri yang meyakini sungguh bahwa segala sesuatu lebih enak bila saya kerjakan sendiri. Saya bisa merasa tersinggung atau terhina ketika harus bergantung pada orang lain. Dan situasi sakit inilah yang saya benci, apalagi ketika saya harus terbaring lemas di kamar atau di rumah sakit.
Syukur kepada Allah, selama pendidikan di seminari saya tidak pernah mengalami sakit yang kemudian mengharuskan saya berbaring lemas di tempat tidur. Selama sekian tahun saya selalu sehat walafiat. Paling banter ya sakit flu, pusing, batuk, dan masuk angin. Sakitnya ringan-ringan dan obatnya pun sederhana, yakni istirahat cukup dan banyak makan.

                Semenjak menjadi imam, saya sering sakit-sakitan. Intensitas sakit saya bertambah meski sakitnya selalu tergolong ringan. Sebulan sekali pasti masuk angin, perut kembung, atau pusing. Entah, sepertinya ini terjadi demikian karena banyaknya beban pikiran atau bahasa kerennya psikosomatis. Harus diakui bahwa semenjak jadi imam, yang dipikirkan menjadi berlimpah tidak karuan, dari sekitar paroki, kevikepan, sampai yayasan. Anehnya, bertambahnya jumlah persoalan yang harus dipikirkan ini kemudian berbanding lurus dengan peningkatan berat badan. Alamaakkk... *buka lemari pakaian* *sedih baju celana sempit semua*
                Syukurnya, sakit kecil-kecilan ketika jadi imam ini masih bisa saya lalui secara mandiri atau tidak sampai merepotkan orang lain. Sakit paling merepotkan orang lain adalah sakit tipus 2015, persis saat Tri Hari Suci. Namun saat diopname pun, saya masih bersikukuh untuk tidak perlu ditemani. Selain saya butuh istirahat banyak, tapi juga karena saya merasa mampu melayani diri saya sendiri. Makan, minum, mandi, kencing, dsb sebisa mungkin saya atasi sendiri.
                Idealisme kemandirian saya saat sakit itu boleh dikatakan sedikit keterlaluan. Karena bisa dilihat sebagai sikap yang tidak merasa butuh orang lain. Sampai-sampai, saya khawatir bila suatu saat saya akan dihajar Tuhan dengan sakit yang bisa bikin saya stress, yakni ketika saya sakit berat sehingga selalu membutuhkan orang lain untuk melakukan aktivitas pribadi sehari-hari, seperti makan, minum, mandi, kencing, dsb. Bisa jadi suatu saat, situasi yang sangat saya benci itu datang. Namun sampai harinya datang, saya berdoa berharap tidak terjadi demikian.
Sesungguhnya sakit itu adalah siklus normal dalam hidup manusia. Bahkan sakit bisa dimaknai sebagai alarm alami untuk menunjukkan adanya ketidakberesan dalam tubuh kita ini. Maka kalaupun saya harus sakit, maka pinta saya pada Tuhan adalah sbb: pertama, berilah sakit yang ringan-ringan saja; kedua, bila sakit berat, saya minta tetap diberi kesehatan untuk mengurus diri saya sendiri (ini permintaan yang maksa karena meski sakit, tetep minta sehat); ketiga, kalau permintaan pertama dan kedua saya tidak dikabulkan dan saya ditaruh dalam situasi ketergantungan yang amat sangat besar, maka berikanlah kepada saya orang-orang yang sabar menangani saya, entah siapa itu orangnya; keempat, kalau toh yang ketiga juga tidak dikabulkan, maka janganlah biarkan saya hidup terlalu lama supaya tidak merepotkan banyak orang.
                Saya doa demikian ini tujuannya sederhana, yakni supaya tidak merepotkan banyak orang. Maka setidaknya ketika saat ini saya belum sakit, saya berusaha menjaga kesehatan sebaik mungkin. Karena menjaga berat badan tidak naik tiap tahun itu sudah cukup susah, maka saya berfokus pada olahraga ringan yang membuat saya tetap memiliki kesempatan untuk bergerak. Gini-gini, saya rajin jogging lho. Tidak percaya? Ya sudahlah..., lain kali mari kita jogging bersama biar percaya. Atau mau balapan lari? Boleh lho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar