Setiap orang pernah jatuh cinta. Tak peduli cinta
monyet, anjing, kucing; cinta jenis eros,
agape; cinta terhadap sesama jenis,
lain jenis; se-spesies, beda spesies (dengan hewan peliharaan atau tumbuhan),
dsb., dst. Yang penting semua orang tanpa terkecuali pasti pernah merasakan jatuh
cinta! Titik!
Dan saya pun juga pernah merasakannya secara luar
biasa. Kondisi jatuh cinta itu sangat menyusahkan dan merepotkan. Karena saya
akan menemukan wajah yang tercinta itu di mana-mana; di dalam kapel, kamar, toilet
umum, jalanan, ketika menatap dinding, televisi, langit-langit, dll. Bahkan
setiap perempuan yang saya temui di
jalan, selalu saya sebut memiliki jejak kemiripan dengannya. Bayangannya selalu
mengikuti dan meracuni saya sedemikian hebatnya sampai saya menjadi begitu
bodoh. Saya menjadi begitu bodoh karena dengan mudah menjadikan pusat hidup
saya adalah dirinya, bukan lagi saya.
Ah..., namun sangat tidak baik kalau saya mengutuki
keadaan “jatuh cinta” ini. Biarlah saya menyebutnya sebagai kebodohan yang
membahagiakan. Saya sendiri mengklasifikasikan kondisi ini sebagai suatu
keadaan yang membahagiakan karena memang ada suatu dorongan positif meluap-luap
di dalamnya, bahkan ketika saya ada dalam kebodohan karena cinta itu. Dan
memang bukankah demikian kebenarannya?
Dari pengalaman itu, dan pengalaman-pengalaman
lainnya, saya bisa sedikit menyimpulkan dalam bahasa sendiri bahwa cinta itu
pada dasarnya bersifat indah, suci, membangun, mendukung, positif, mendorong,
optimis, mencerahkan, membagikan milik kepunyaan, memberi diri, keluar dari
diri, menumbuhkan, menghangatkan, membahagiakan, dst. Cinta dari dalam dirinya
sendiri merupakan luapan banjir yang menghanyutkan dan memabukkan jiwa. Manusia
bahkan rela mengorbankan nyawanya demi ia yang dicintainya. Bagi saya, ini
adalah efek utama dari mabuk cinta, yakni berpikir di luar nalar alias gila.
Bila jatuh cinta itu membuat orang menjadi gila,
maka obat bagi mereka yang jatuh cinta adalah bertemu dengan yang dicintainya.
Namun bertemu saja belum cukup bagi orang yang jatuh cinta. Ia tahu bahwa cinta
itu akhirnya adalah selalu kerja sama dua belah pihak; ada yang memberi dan ada
yang menerima; ada yang ada yang mengulurkan tangan dan ada yang menyambutnya.
Maka, tujuan akhir yang diharapkan orang yang jatuh cinta adalah mendapatkan
balasan cinta dari yang dicintainya. Tidak ada yang lain. Dan bila sudah
didapatkan apa yang selama ini diharapkannya itu, maka sudah cukuplah itu bagi
dirinya alasan untuk hidup berjuang di dunia, yakni untuk ia yang dicintainya.
Kalau demikian, lalu bagaimana dengan istilah
“cinta itu tidak harus memiliki”? Yah..., bila yang dimaksud adalah bahwa cinta
itu bisa dimengerti sebagai suatu tindakan pribadi dan satu arah tanpa perlu
menghiraukan balasan dari orang yang dicintainya, maka bagi saya ini adalah
omong kosong. Setiap orang sesungguhnya tidak pernah berharap demikian. Bahkan
Allah pun yang adalah sang Maha Cinta, pemberi cinta tanpa pamrih, masih
senantiasa berharap agar umat-Nya membalas cinta-Nya. Namun benarlah bahwa
tidak semua cinta itu harus diwujudkan dalam eksekusi untuk saling memiliki
dalam komitmen. Dalam pengertian ini, saya baru menyetujui bahwa “cinta itu tidak
selalu dapat saling memiliki”.
Cinta itu sendiri pada dasarnya adalah daya atau
energi hidup manusia. Maka tak ada manusia yang hidup di dunia ini yang tidak
memiliki cinta. Bahkan orang jahat pun masih memiliki cinta yang bisa dibagikan
kepada sesamanya. Bisa jadi bahwa manusia itu didesain oleh Allah memang untuk
tenggelam dalam cinta. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam diri bayi, yang
suka dipeluk dengan cinta yang hangat oleh kedua orangtuanya. Dan hebatnya,
orang-orang lanjut usia pun pada akhirnya akan kembali ke fase ini, yakni ingin
dipeluk dengan penuh cinta yang hangat oleh orang-orang di sekelilingnya. Mengalami
cinta memang kebutuhan mendasar dan sudah tertanam sejak zaman purba dalam diri
manusia dan akan terus terekam sampai kematian menjemputnya.
Untuk mendapatkan cinta, manusia rela menjual
segala harta miliknya, memberikan segala apa yang dipunyainya. Ia berani
melakukan semuanya demi mendapatkannya. Bahkan ada orang yang berusaha menjadi
sangat kaya, terkenal, dihormati, supaya dapat dicintai sesamanya. Meski pada
akhirnya, banyak orang akhirnya gagal menemukannya atau malah mendapatkan cinta
palsu nan semu yang justru hanya merusak dirinya.
Setiap orang pasti memang memiliki pengalaman atas
cinta. Namun tidak setiap orang memiliki kemampuan menyelaminya. Sehingga
berbahagialah mereka yang mampu menyelaminya dan celakalah yang hingga sekarang
belum pernah merasakan kedalaman cinta. Pasalnya memang cinta yang ditawarkan
dunia saat ini sangat dangkal karena sering hanya sebatas pada urusan pangkal
selangkangan atau gejolak-gejolak emosi manusiawi semata-mata.
Maka sekali lagi, saya masih bingung dengan cinta
ini, karena dengan apa hendak kugambarkan cinta? Dengan apa hendak
kujelaskannya? Karena begitu mendasarnya, luasnya, besarnya, dalamnya, dan
kompleksnya cakupan atas cinta ini. Sehingga pada akhirnya saya mau
menyimpulkan bahwa cinta itu tidak dapat digambarkan. Bahkan bila dapat
digambar pun, gambar itu selalu bersifat pribadi, seturut pengalaman ia yang
menggambar. Tidak ada gambaran universal dan mendetail mengenai cinta karena ia
selalu merupakan pengalaman pribadi manusia.
Dan maka sekali lagi (maaf, sudah dua kali saya
minta sekali lagi), kita semua hanya bisa berharap agar kita masing-masing
sudah memiliki gambaran indah nan intim mengenai cinta, sebagaimana diungkapkan
dengan sangat indah dan mendalam oleh pengarang kitab Kidung Agung:
“...cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati,
nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat
memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya,. Sekalipun orang
memberi segala harta bendanya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina.” (Kidung Agung
8: 6-7)
Saya lupa. Tulisan ini memang sudah lama ada,
namun entah
dibuat kapan dan selesai kapan, tidak ada catatan.
Yang jelas
dibuat saat trance.
Terima kasih
kepada Rm. Berthold Pareira O.Carm yang sudah mengenalkan saya dengan Kitab
Kidung Agung,
kitab favorit
para mistikus Gereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar