18 Januari 2013

DENGAN APA HENDAK KUGAMBARKAN CINTA?



Setiap orang pernah jatuh cinta. Tak peduli cinta monyet, anjing, kucing; cinta jenis eros, agape; cinta terhadap sesama jenis, lain jenis; se-spesies, beda spesies (dengan hewan peliharaan atau tumbuhan), dsb., dst. Yang penting semua orang tanpa terkecuali pasti pernah merasakan jatuh cinta! Titik!
Dan saya pun juga pernah merasakannya secara luar biasa. Kondisi jatuh cinta itu sangat menyusahkan dan merepotkan. Karena saya akan menemukan wajah yang tercinta itu di mana-mana; di dalam kapel, kamar, toilet umum, jalanan, ketika menatap dinding, televisi, langit-langit, dll. Bahkan setiap perempuan yang  saya temui di jalan, selalu saya sebut memiliki jejak kemiripan dengannya. Bayangannya selalu mengikuti dan meracuni saya sedemikian hebatnya sampai saya menjadi begitu bodoh. Saya menjadi begitu bodoh karena dengan mudah menjadikan pusat hidup saya adalah dirinya, bukan lagi saya.
Ah..., namun sangat tidak baik kalau saya mengutuki keadaan “jatuh cinta” ini. Biarlah saya menyebutnya sebagai kebodohan yang membahagiakan. Saya sendiri mengklasifikasikan kondisi ini sebagai suatu keadaan yang membahagiakan karena memang ada suatu dorongan positif meluap-luap di dalamnya, bahkan ketika saya ada dalam kebodohan karena cinta itu. Dan memang bukankah demikian kebenarannya?

Dari pengalaman itu, dan pengalaman-pengalaman lainnya, saya bisa sedikit menyimpulkan dalam bahasa sendiri bahwa cinta itu pada dasarnya bersifat indah, suci, membangun, mendukung, positif, mendorong, optimis, mencerahkan, membagikan milik kepunyaan, memberi diri, keluar dari diri, menumbuhkan, menghangatkan, membahagiakan, dst. Cinta dari dalam dirinya sendiri merupakan luapan banjir yang menghanyutkan dan memabukkan jiwa. Manusia bahkan rela mengorbankan nyawanya demi ia yang dicintainya. Bagi saya, ini adalah efek utama dari mabuk cinta, yakni berpikir di luar nalar alias gila.
Bila jatuh cinta itu membuat orang menjadi gila, maka obat bagi mereka yang jatuh cinta adalah bertemu dengan yang dicintainya. Namun bertemu saja belum cukup bagi orang yang jatuh cinta. Ia tahu bahwa cinta itu akhirnya adalah selalu kerja sama dua belah pihak; ada yang memberi dan ada yang menerima; ada yang ada yang mengulurkan tangan dan ada yang menyambutnya. Maka, tujuan akhir yang diharapkan orang yang jatuh cinta adalah mendapatkan balasan cinta dari yang dicintainya. Tidak ada yang lain. Dan bila sudah didapatkan apa yang selama ini diharapkannya itu, maka sudah cukuplah itu bagi dirinya alasan untuk hidup berjuang di dunia, yakni untuk ia yang dicintainya.
Kalau demikian, lalu bagaimana dengan istilah “cinta itu tidak harus memiliki”? Yah..., bila yang dimaksud adalah bahwa cinta itu bisa dimengerti sebagai suatu tindakan pribadi dan satu arah tanpa perlu menghiraukan balasan dari orang yang dicintainya, maka bagi saya ini adalah omong kosong. Setiap orang sesungguhnya tidak pernah berharap demikian. Bahkan Allah pun yang adalah sang Maha Cinta, pemberi cinta tanpa pamrih, masih senantiasa berharap agar umat-Nya membalas cinta-Nya. Namun benarlah bahwa tidak semua cinta itu harus diwujudkan dalam eksekusi untuk saling memiliki dalam komitmen. Dalam pengertian ini, saya baru menyetujui bahwa “cinta itu tidak selalu dapat saling memiliki”.
Cinta itu sendiri pada dasarnya adalah daya atau energi hidup manusia. Maka tak ada manusia yang hidup di dunia ini yang tidak memiliki cinta. Bahkan orang jahat pun masih memiliki cinta yang bisa dibagikan kepada sesamanya. Bisa jadi bahwa manusia itu didesain oleh Allah memang untuk tenggelam dalam cinta. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam diri bayi, yang suka dipeluk dengan cinta yang hangat oleh kedua orangtuanya. Dan hebatnya, orang-orang lanjut usia pun pada akhirnya akan kembali ke fase ini, yakni ingin dipeluk dengan penuh cinta yang hangat oleh orang-orang di sekelilingnya. Mengalami cinta memang kebutuhan mendasar dan sudah tertanam sejak zaman purba dalam diri manusia dan akan terus terekam sampai kematian menjemputnya.
Untuk mendapatkan cinta, manusia rela menjual segala harta miliknya, memberikan segala apa yang dipunyainya. Ia berani melakukan semuanya demi mendapatkannya. Bahkan ada orang yang berusaha menjadi sangat kaya, terkenal, dihormati, supaya dapat dicintai sesamanya. Meski pada akhirnya, banyak orang akhirnya gagal menemukannya atau malah mendapatkan cinta palsu nan semu yang justru hanya merusak dirinya.
Setiap orang pasti memang memiliki pengalaman atas cinta. Namun tidak setiap orang memiliki kemampuan menyelaminya. Sehingga berbahagialah mereka yang mampu menyelaminya dan celakalah yang hingga sekarang belum pernah merasakan kedalaman cinta. Pasalnya memang cinta yang ditawarkan dunia saat ini sangat dangkal karena sering hanya sebatas pada urusan pangkal selangkangan atau gejolak-gejolak emosi manusiawi semata-mata.
Maka sekali lagi, saya masih bingung dengan cinta ini, karena dengan apa hendak kugambarkan cinta? Dengan apa hendak kujelaskannya? Karena begitu mendasarnya, luasnya, besarnya, dalamnya, dan kompleksnya cakupan atas cinta ini. Sehingga pada akhirnya saya mau menyimpulkan bahwa cinta itu tidak dapat digambarkan. Bahkan bila dapat digambar pun, gambar itu selalu bersifat pribadi, seturut pengalaman ia yang menggambar. Tidak ada gambaran universal dan mendetail mengenai cinta karena ia selalu merupakan pengalaman pribadi manusia.
Dan maka sekali lagi (maaf, sudah dua kali saya minta sekali lagi), kita semua hanya bisa berharap agar kita masing-masing sudah memiliki gambaran indah nan intim mengenai cinta, sebagaimana diungkapkan dengan sangat indah dan mendalam oleh pengarang kitab Kidung Agung:
“...cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya,. Sekalipun orang memberi segala harta bendanya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina.” (Kidung Agung 8: 6-7)



Saya lupa. Tulisan ini memang sudah lama ada,
namun entah dibuat kapan dan selesai kapan, tidak ada catatan.
Yang jelas dibuat saat trance.

Terima kasih kepada Rm. Berthold Pareira O.Carm yang sudah mengenalkan saya dengan Kitab Kidung Agung,
kitab favorit para mistikus Gereja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar