Saya dulunya percaya
bahwa mimpi itu sesungguhnya hanya proyeksi dari diri seseorang. Karena
merupakan proyeksi, maka isinya sekedar merupakan kenangan akan sesuatu yang
sudah lewat dan harapan mengenai sesuatu yang akan datang. Ia hanyalah bunga
tidur dan tak perlu diambil pusing. Namun ini menjadi sesuatu yang spesial
ketika ternyata mimpi itu selalu muncul berulang.
Kisah serupa
dapat kita temui dalam diri Santiago, tokoh utama dalam novel Alkemis, karangan
Paulo Coelho. Santiago adalah bocah penggembala yang memulai perjalanan panjangnya
akibat terusik oleh mimpi berulang yang meminta supaya ia menemukan harta di
bawah piramida di Mesir. Karena mimpi berulangnya itu, ia kemudian berani
menjual semua dombanya, meninggalkan rumahnya Andalusia, dan menuju ke tanah
asing, padang gurun Afrika, demi mencari piramida yang tak pernah ia ketahui
sebelumnya. Keberaniannya mewujudkan mimpi berulangnya itulah yang kemudian menjadi
tema utama dalam novel ini. Keberaniannya dalam mewujudkan mimpinya itulah yang
akhirnya membuat jalan hidup Santiago berubah.
“Mimpi-mimpi
adalah bahasa Tuhan!” demikianlah kata perempuan gipsi tua dalam novel. Setelah
membaca novel ini, saya pun juga mempercayai demikian. Mimpi itu dalam artian
tertentu memang merupakan bahasa Tuhan. Ia hendak mengungkapkan apa yang belum
tersingkap. Kisah Santiago ini menjadi kisah favorit saya. Pasalnya, saya pun
memiliki mimpi berulang. Bila mimpi si Santiago berulang dua kali, saya sudah
lebih dari itu. Setidaknya ada tiga kali mimpi yang sama yang sudah pernah saya
alami dan saya ingat dengan jelas. Selebihnya itu saya ingat dengan samar,
meski dengan tema serupa.
Bila tema
mimpi berulang Santiago adalah penemuan harta karun di bawah piramida, maka
tema mimpi berulang saya adalah “sebuah usaha pelarian diri”. Sudah beberapa
kali saya dengan jelas dan nyata bermimpi melarikan diri. Plot utama dari mimpi
saya adalah saya yang melarikan diri dari sesuatu. Lalu “sesuatu” yang mengejar
saya dalam mimpi ini bisa bermacam-macam wujudnya, dari sosok perempuan cantik seperti
di telenovela, para pembunuh bayaran sebagaimana saya lihat di film-film
Hollywood, sampai gerombolan orang sekampung. Setting tempatnya pun
bermacam-macam. Yang saya ingat dengan jelas adalah melarikan diri ketika
dikejar di tangga yang berulir melingkar, melarikan diri ketika saya dikeroyok
dan terperangkap di dalam gedung besar nan berliku, sampai melarikan diri
dengan berlarian di atas atap rumah (persis seperti film-film James Bond).
Dalam semua mimpi itu, untungnya saya tidak pernah tertangkap. Saya selalu
dapat melarikan diri dengan sukses. Entah bagaimana jadinya kalau saya
tertangkap dalam mimpi itu. Apakah jangan-jangan saya lalu tidak dapat bangun
lagi dan terjebak dalam mimpi selamanya? Yah..., siapa yang tahu?
Namun, apa
jangan-jangan semua mimpi saya ini hanya sekedar pengaruh dari banyaknya film
Hollywood yang saya tonton, yang menunjukkan betapa serunya adegan
kejar-kejaran dalam film itu? Ya..., saya kira tidak demikian. Pasalnya saya
pertama kali bermimpi dengan tema pelarian diri ini ketika saya masih usia SD,
usia dimana saya tidak mengenal sama sekali film-film Hollywood. Hobi saya
menonton film-film aksi dan laga itupun baru terjadi ketika saya kuliah, ketika
mimpi berulang itu sudah terjadi beberapa kali sebelumnya. Mungkin saja memang
benar bahwa setting dan tokoh yang mengejar saya itu kemudian berubah-ubah
sesuai dengan referensi yang saya dapat dari luar diri saya, tetapi esensi dari
mimpi itu tetap saja sama, yakni usaha untuk melarikan diri.
Sampai saat
ini, saya belum mampu menguak misteri dari mimpi berulang saya itu. Kalau dalam
novel Alkemis, Santiago dibantu untuk mengungkapkan rahasia mimpinya melalui
Melkisedek, si raja Salem, namun tidak berlaku demikian bagi saya. Tidak ada
seorang pun atau bahkan satu tanda sekalipun, yang diberikan bagi saya untuk
membuka rahasia mimpi ini. Jangan-jangan mimpi saya ini memang bunga tidur
sehingga tidak perlu saya menyingkapkan makna di baliknya? Tapi bila itu
merupakan bunga tidur, mengapa hal itu bisa terjadi berulang dengan gambaran
yang sedemikian rinci dan detail, yang bisa saya ingat sampai sekarang? Mengapa
dalam mimpi itu saya harus melarikan diri dan siapa sesungguhnya identitas diri
si pengejar itu menjadi misteri besar bagi saya.
Sigmund Freud punya
pandangan demikian, sebagaimana saya kutip dari Wikipedia, bahwa “mimpi
merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar, pesan-pesan
ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktivitas emosi lain, hingga
aktivitas emosi yang sama sekali tidak disadari.
Sehingga ia berpendapat bahwa dengan metode Analisis Mimpi, kita dapat mengungkap
pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan,
kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang.
Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil di-ungkap, maka
untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk diselesaikan.”
Sayang, saya
tidak pernah bertemu dengan sosok seperti Freud sebagai si Melkisedek, yang
mengungkapkan makna mimpi saya itu. Bisa jadi mimpi saya itu memang pesan alam
bawah sadar yang sampai sekarang belum bisa saya pahami. Atau kalau tidak
ditemukan indikasi demikian, maka bisa jadi memang ini adalah bahasa Tuhan,
bahasa alam semesta yang sayangnya juga belum bisa saya pahami sampai sekarang.
Mungkin kelak kalau
saya bertemu dengan Tuhan sendiri, berhadapan muka dengan muka, saya mau
klarifikasi tentang mimpi saya ini. Karena saya takut, jangan-jangan saya
memang telah melewatkan salah satu pesan penting yang dikirim Tuhan lewat alam
semesta kepada saya. Jangan-jangan ada yang salah dalam jalan hidup saya. Jangan-jangan
ada bagian besar dalam hidup saya yang terlupa. Jangan-jangan hidup saya yang
sekarang ini sesungguhnya bukan hidup saya yang seharusnya saya hidupi. Jangan-jangan... Yyaaa..., semoga tidak demikian lah. Tapi bagaimana kalau benar demikian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar