Banyak teman saya
mengalami peristiwa menyakitkan dengan orangtuanya. Pengalaman menyakitkan itu sering
kali menggores luka yang dalam pada jiwanya. Orangtua memang selalu menghendaki
dapat mendidik anaknya dengan baik dan sempurna. Namun harus diingat bahwa manusia
itu penuh dengan kelemahan, juga orangtua. Sehingga bisa jadi cara mereka
mendidik itu justru melukai, mengecewakan, dan membuat anak-anak tertekan.
Belum lagi ketika orangtua tidak mampu memberikan
teladan hidup yang baik kepada anak-anaknya. Pertengkaran, ketidaksetiaan,
ketidakjujuran, dan keegoisan adalah hal-hal yang menyakitkan untuk dapat
dipahami sewaktu anak-anak masih kecil. Banyak teman saya akhirnya menjadi
dewasa dengan membawa luka dalam batinnya. Ada rasa tidak terima, benci, dendam
dengan semua pengalaman masa kecilnya, khususnya dengan orangtua. Sehingga
ketika dewasa, keluarga tidak pernah menjadi tempat untuk kembali pulang.
Keluarga menjadi tempat dimana memori kelam bersarang.
Dalam diri mereka yang memiliki pengalaman demikian,
saya selalu melihat bahwa mereka hidup dengan membawa beban. Beban pengalaman
masa kecil yang berat dan menyesakkan. Yang entah meski sangat dibencinya,
namun enggan dilepaskannya. Maka tak heran bila para ahli ilmu jiwa atau bahkan
kelompok-kelompok religius tertentu menawarkan jasa untuk menyembuhkan luka
ini, yang jumlahnya semakin bertambah di abad-abad ini. Kenyataan inilah yang
membuat angka pasien ahli ilmu jiwa atau peserta retret penyembuhan luka batin
selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Namun sesungguhnya yang mengalami luka batin itu bukan
hanya mereka yang datang kepada ahli ilmu jiwa dan mengikuti retret penyembuhan
luka batin. Kita semua memiliki luka batin yang sama, yang entah disadari atau
tidak, membuat jiwa kita tidak dapat berkembang sempurna. Bila mau, sebenarnya
kita mampu untuk membebaskan dan menyembuhkan diri sendiri dari luka-luka macam
demikian. Caranya sederhana, yakni dengan memaafkan orangtua.
Memaafkan orangtua adalah jalan satu-satunya yang
dapat membebaskan manusia dari luka batin semasa kecil. Memaafkan orangtua
berarti mempercayai bahwa mereka mencintai diri kita sepenuh hati dan hanya
karena kelalaian mereka, lalu kita terluka. Kita percaya bahwa sesungguhnya
mereka tidak pernah berharap demikian.
Kita dibiasakan untuk meminta maaf kepada orangtua.
Tetapi tidak pernah kita mendengar ajakan sebaliknya. Karena sesungguhnya memaafkan
orangtua justru membutuhkan keberanian berlipat ganda, kerelaan berlantai tiga,
dan kemurahan bertingkat empat. Ini bukan hal yang mudah, tetapi
sungguh-sungguh dapat mendamaikan hati kita dengan seluruh kenyataan di masa
kecil kita.
Teman baik saya pernah mengutarakan kepada ayahnya
betapa ia tersakiti olehnya sewaktu kecil dan siapa sangka ternyata ayahnya
meminta maaf kepadanya. Sang ayah meminta maaf dan menyatakan penyesalannya. Ayah
itu meminta maaf karena hanya dapat memberikan diri sebatas itu saja dalam
mendidik anaknya. Namun sang ayah meminta supaya anaknya percaya bahwa ia sudah
berusaha keras mencintainya. Dan atas segala kekurangannya, ia meminta maaf.
Kisah teman saya ini sederhana, namun sangat
menyentuh. Karena sesudah itu saya tahu benar, bahwa segala kebenciannya
terhadap orangtua justru menjadi cinta yang sangat besar kepada mereka. Di
sini, saya melihat pengampunan dapat mengubah segalanya. Memang bukan dunia
obyektif yang telah diubahnya, tetapi setidaknya dunia di matanya sekarang
telah berubah. Ia dapat melihat kedua orangtuanya dengan paradigma cinta
manusia yang terbatas, terbatas oleh kodrat kekurangan dan kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar