Saat
senyum menyapa hangat tapi hati tidak peka.
Saat
suara bertegur sapa tapi jiwa tidak berada di sana.
Saat
mata menatap mesra tapi tak ada kobar api menyala.
Ketika
tangan berjabat erat tapi hanya daging yang terasa.
Aku takut menjadi mesin.
Saat
teman datang dan aku mengusirnya pergi.
Saat
teman menangis dan aku membentaknya diam.
Saat
teman mengeluh dan aku membangkitkan amarah.
Saat
teman berkesusahan dan aku mengabaikan dirinya.
Saat
teman berkekurangan dan aku membuang kelebihan.
Saat
teman berputus asa dan aku tidak mampu menyadarinya.
Aku takut kehilangan cinta. Aku
takut kehilangan gairah. Aku takut kehilangan daya. Aku takut kehilangan
diri-Nya. Aku sungguh-sungguh takut. Sungguh-sungguh takut.
Takut ini hingga sampai ke
sum-sum tulang. Takut ini hingga sampai ke dalam jiwa. Takut ini berdiang di
kedalaman dan merobek serta meluluhlantakkan bangunan batinku.
Apa daya sekarang diriku menjadi
semakin dingin, semakin mesin. Semakin lama, semakin terasa nyata. Bangunan
diri menjadi seperti sebuah tembok puri. Dengan kawat baja beraliran listrik
tinggi. Dengan parit berisi sejumlah buaya. Dengan sepasukan kavaleri
bersenjatakan tombak trisula. Belum lagi satu batalyon pasukan berkuda dengan
pedang dan panah bernyala.
Itu semua demi melindungi
sesuatu di dalam benteng diri ini. Yang sesungguhnya aku tidak pernah kenal dan
tahu apa itu. Karena aku selalu melihat waspada ke luar, tapi tak pernah berani
melihat ke dalam. Seolah-olah ada musuh besar di luar sana, tanpa pernah berani
mengintip ke dalam karena siapa tahu ia sudah ada di sana sekian lama dan
menguasai bangunanku. Aku takut dan aku tidak tahu. Namun dalam ketidaktahuanku
itu, hanya satu yang kutahu pasti, bahwa aku semakin dingin, semakin mesin.
Aku sudah semakin dingin seperti
mayat berjalan dan semakin mekanis dengan mesin beroperasi otomatis. Dan memang
inilah yang merobek-robek hatiku saat ini, yakni ketika aku tahu bahwa aku
semakin dingin, semakin mesin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar