03 Desember 2015

Saya Menyerah, Saya Menulis Kembali



Sudah setahun lebih dan hampir 2 tahun, blog saya ini tidak saya sentuh. Ia jadi blog yang jablai alias jarang dibelai. “Kasihan sekali dirimu, wahai sayangku”. Bukan bermaksud untuk menelantarkan atau karena saya sudah berpaling hati kepada blog lain, tetapi memang mau bagaimana lagi. Jadwal padat, coy. Dulu sih pengangguran yang dibiayai Gereja (pas masih frater). Lha sekarang sudah tidak nganggur lagi. Malah banyak kerjanya. Ya wajar lah. Itung-itung melunasi dosa atas sekian tahun menjadi pengangguran di seminari. Sekarang memang waktunya untuk kerja. *singsingkan lengan baju*
Maka bila dulu leisure time ketika masih frater banyak diisi dengan tulis menulis. Sekarang leisure time ketika sebagai imam diisi dengan banyak istirahat. Diisi dengan istirahat karena sejak pagi smp malam, saya sering berkegiatan. Namun istirahat di sini tidak berarti tidur. Sekedar rebahan di kamar, lihat TV, atau baca-baca koran saja sudah termasuk istirahat bagi saya saat ini. Tidur siang atau sore sudah jadi barang mahal buat saya. Sudah jarang saya meniduri dipan kayu saya saat siang hari. Tidur saya sekarang ini ya cuma malam saja. Titik.
Jadi, saya sudah hampir 2 tahun undur diri dari urusan tulis menulis yang kemudian dipublikasikan di blog ini. Alasannya itu tadi, sibuk.

Tapi harus saya akui, leisure time saya kok rasanya sia-sia selama hampir 2 tahun ini. Karena setelah banyak saya pakai untuk istirahat, kok ya ada rasa tidak tenang dalam hati saya. Saya sendiri merasa bahwa ada banyak ide dan pemikiran menarik untuk dituangkan dalam kata-kata, tapi ya terbentur dengan “penjara pikiran” saya itu tadi, dinding penjara yang mengurung itu menamakan dirinya sebagai SITUASI SIBUK. Sipir dari penjara itu mengungkung pikiran dan kehendakku dengan selalu berkata: “Ted, kamu sudah sibuk dan tidak ada waktu untuk tulis menulis lagi. Istirahat saja lah”.
Ketika saya sendiri bimbang untuk berpihak pada keinginan untuk mengaktualisasikan diri atau percaya kepada perkataan sipir penjara tersebut, maka datanglah kembali rekan-seperasaan-seperjuangan-tulis-menulis-yang-sekian-lama-tidak-menjalin-komunikasi-karena-satu-dua-hal. Melihatnya yang masih berusaha tekun menulis, kok rasanya membahagiakan dan menyenangkan. Maka kerinduan yang membuncah untuk tulis menulis lagi itu kemudian kok muncul perlahan dan membangkang. Kerinduan ini membangkang dan melawan keberadaan “penjara pikiran” dalam diri saya. Singkat cerita, ia menang. Si sipir kemudian lenyap begitu saja, tidak dibunuh dan tidak melarikan diri. Lenyap begitu saja.
Setelah sipir itu tiada, maka saya bertobat dan berkeinginan kembali untuk menulis. Saya bertobat dari pembenaran diri bahwa saya sibuk sampai tidak sempat tulis menulis lagi. Setelah bertobat, saya memperbaharui kredo¸”...aku percaya bahwa dengan menulis, ada percikan aktualisasi diri yang terpuaskan, yang entah kenapa bisa begitu membahagiakan sejak dahulu mengenalnya sampai sekarang, dimana kebahagiaan itu tidak bisa dibeli atau diganti dengan uang...
Penjara itu sekarang tidak berpenghuni. Pintu penjara lalu saya buka lebar-lebar. Jendela-jendelanya kemudian juga saya jebol supaya cahaya dan angin bisa bergantian datang silih berganti. Saya tidak mau merobohkannya. Biar ruangannya saya pakai untuk menulis. Kan keren, kalau saya menulis di tempat dimana keinginan untuk menulis itu dulu dipasung dan diberangus kebebasannya. 

Awal Desember 2015
Adven kedua sebagai imam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar