17 Desember 2015

SELIBAT: MENCINTAI SANG PENCIPTA




              Imam Katolik seperti saya itu memiliki janji selibat. Selibat secara singkat adalah melajang demi Kerajaan Allah. Praktisnya ya bahwa romo itu tidak menikah. Banyak orang bertanya, “Dimana dikatakan dalam KS tentang situasi hidup “tidak menikah”? Bukankah itu melanggar kodrat di awal penciptaan, dimana Allah Yahwe memberi pesan untuk “beranak-cuculah” (Kejadian)? Pertanyaan ini pernah diutarakan oleh seorang pemudi dari gereja tetangga, saat saya hadir di salah satu acara stasi di wilayah pastoral Mojokerto.
                Ya lalu saya jawab lah dengan mengutip Kitab Suci juga. Dipikirnya kita Katolik lalu tidak tahu Kitab Suci apa? Jhaha!!, “Mbak, coba baca perikop pertama Matius 19, di situ ada alasan mengapa para imam itu tidak menikah”. Ya, nggak tahu dibaca atau tidak sama mbak ini ya. Tapi diandaikan saja demikian lah. Saat mencarinya, saya berharap mbak tersebut akan menemukan bahwa dalam Mat 19:12 Yesus berbicara tentang orang yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. “Itulah kami, mbak! Kami merupakan spesies yang tidak menikah demi Kerajaan Allah!”
                Meski Yesus berbicara mengenai orang yang tidak menikah demi Kerajaan Allah, tapi selibat bukan sekedar persoalan tidak menikah. Ini lebih dari itu, yakni tentang menjalani hidup murni. Apa yang dimaksud hidup selibat sebagai hidup murni? Saya sendiri memaknai hidup murni sebagai hidup suci secara rohani di hadapan Allah, hidup yang tidak menyerah pada insting seksual lahiriah badaniah. Karena saya sebut sebagai hidup yang tidak menyerah, maka unsur perjuangannya sangat besar. Berjuang mulai dari rasa jatuh cinta eksklusif, rasa kesepian, kehausan afeksi, sampai kepada kerinduan seksualitas intimitas biologis. Berbicara mengenai hidup selibat berarti berbicara tentang hal yang sangat kompleks, secara psikologis maupun biologis. Maka memang benar bahwa selibat itu karunia Allah. Manusia tidak mampu menjalani dengan kekuatannya sendiri.
                Lalu bila demikian, apa alasan untuk hidup murni? Alasannya adalah untuk membaktikan sepenuhnya cinta ini kepada Allah. Tidak ada yang lain. Cinta ini diberikan kepada Sang Pencipta dan bukan kepada ciptaan. Menarik ya gagasan tentang hidup murni atau selibat ini, yakni demi alasan mencintai Sang Pencipta. Tapi memang pada dasarnya, seluruh hidup imamat adalah bentuk totalitas cinta kepada Allah, dalam bentuk kesederhanaan, kemurnian, dan ketaatan. Tantangan utama adalah godaan untuk mencintai ciptaan secara berlebihan, dalam wujud cinta harta, cinta kekuasaan, dan dalam konteks janji selibat, cinta perempuan.
                 Cinta itu energi hidup dunia. Cintailah seseorang dan engkau akan rela berkorban baginya. Yesus mencintai kita dan rela mengorbankan nyawaNya. Saya pun juga sudah jatuh cinta kepada Kristus dan penebusanNya, sehingga saya mau menjadi imam dan membaktikan cinta ini kepada Allah, Sang Pencipta. Tidak menikah pun lalu menjadi hal kecil dari konsekuensi yang siap untuk saya jalani. Hal besarnya adalah hidup murni itu tadi.
                Zaman ini tantangan hidup murni bagi para imam biarawan biarawati sangat besar. Maka lalu pinta saya pada Tuhan sederhana saja, semoga diberi rahmat hidup selibat dan murni sampai mati. Setia kepadaNya sampai mati. Ya itung-itung selibat ini bolehlah kalau mau dimasukkan sebagai bentuk pantang dan puasa. Pantang puasa atas aktualisasi hidup seksual manusia. Bedanya, pantang dan puasa jenis ini tidaklah mengenal sesi istirahat macam waktu berbuka (maghrib) atau waktu sahur (dini hari). *tepokjidat**ngelusdadasepanjanghari*



Adven 2015
Jalan tahun kedua imamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar