11 Januari 2016

MENJEMPUT KEMATIAN SEBAGAI SEORANG IMAM



Natal 2012 bersama RD Ikwan di Paroki St Petrus Tuban

                Sejak menjadi imam, saya sudah menyaksikan kematian 3 rekan imam se-diosesan. Dari RD Reko Boleng, RD Ikwan Wibowo, sampai yang terakhir adalah RD Kusdianto Tana. Dari ketiga imam ini, kedua imam yang saya sebut terakhir memiliki kenangan yang baik di dalam ingatan dan hati saya. Karena itu, menyaksikan mereka meninggal adalah suatu pengalaman kehilangan mendalam sebagai sesama imam, sesama rekan seperjuangan.
                Meski sedih, namun saya tetap bersukacita. Saya bersukacita karena melihat kesetiaan sebagai seorang imam di akhir hidup mereka. Bahwa para imam yang saya kenal ini kemudian meninggal dan disemayamkan dalam peti dengan memakai pakaian Liturgi sebagai seorang imam, ini membuat saya tersenyum bahagia. Saya bahagia karena mereka sudah memenangkan perlombaan, yakni berlari sampai garis finish sebagai seorang imam. Inilah puncak cita-cita seorang imam, yakni ketika ia mati tetap sebagai imam.
                Saya pun mencita-citakan hal serupa, yakni mati sebagai imam. Saya mencita-citakan hal tersebut terhitung sejak saya sadar betul bahwa tidak mudah mempertahankan hidup imamat ini. Saya sadar hanya dalam kurun waktu 6 bulan imamat saya, tidak terlalu lama. Tantangan dari luar dan kelemahan dari dalam diri menjadi alasan kenapa memang sangat susah hidup sebagai seorang imam yang berjanji untuk selibat, sederhana, dan taat. Karena susah dan beratnya hal ini, maka jalan keluarnya hanya ada dua, yakni ATAU kamu memilih mundur dari hidup imamat ini, ATAU kamu segera mati. Dan saya lebih suka memilih mati. Kalau bisa segera.

RD Kusdi, romo diosesan Surabaya yang sangat menyenangkan.
                Jangan dilihat bahwa pilihan ini adalah pilihan yang pesimistis. Jangan dilihat juga sebagai pilihan yang tidak heroik karena dianggap pengecut, tidak berani menghadapi tantangan. Pilihan untuk mati ini merupakan jalan keluar untuk tetap setia sebagai imam dan setia terhadap idealisme imamat saya. Pasalnya, tidak seorang pun dari imam dapat menjamin bahwa dirinya akan setia terus menjadi imam sampai mati atau setia terus pada idealisme imamatnya. Jaminan itu sendiri baru terbukti ketika kematian menjemputnya dan ia dimasukkan ke dalam peti tetap sebagai seorang imam.
                Sembari menunggu kematian, saya akan terus berjuang. Ini sebuah penantian yang aktif, bukan penantian pasif yang disertai teriakan kepada Allah, “Ambillah nyawaku sekarang ini ya Allah, aku mencintaiMu!” Cinta kepada Allah lalu mengharapkan kematian untuk bertemu denganNya memang terdengar saleh dan bagus, namun cinta kepada Allah yang ditunjukkan melalui perjuangan sekuat tenaga untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia sangat jauh lebih baik.
Sembari menunggu kematian mendatangi saya, saya mengharapkan kematian mendatangi orangtua saya terlebih dahulu. Saya bukannya menginginkan orangtua saya segera mati, melainkan berharap bahwa orangtua tidak mendapati saya mendahului mereka dalam kematian. Kesedihan terdalam orangtua adalah ketika mendapati anaknya meninggal, dan saya tidak mengharapkan demikian.
Demikian cita-cita dan skenario kematian yang saya idam-idamkan sebagai seorang imam. Saya senantiasa mengingatkan hal ini kepada Tuhan dan semoga Tuhan berkenan mengabulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar