Natal 2012 bersama RD Ikwan di Paroki St Petrus Tuban |
Sejak menjadi imam, saya sudah
menyaksikan kematian 3 rekan imam se-diosesan. Dari RD Reko Boleng, RD
Ikwan Wibowo, sampai yang terakhir adalah RD Kusdianto Tana. Dari ketiga imam
ini, kedua imam yang saya sebut terakhir memiliki kenangan yang baik di dalam
ingatan dan hati saya. Karena itu, menyaksikan mereka meninggal adalah suatu
pengalaman kehilangan mendalam sebagai sesama imam, sesama rekan seperjuangan.
Meski sedih, namun saya tetap bersukacita. Saya
bersukacita karena melihat kesetiaan sebagai seorang imam di akhir hidup
mereka. Bahwa para imam yang saya kenal ini kemudian meninggal dan disemayamkan
dalam peti dengan memakai pakaian Liturgi sebagai seorang imam, ini membuat
saya tersenyum bahagia. Saya bahagia karena mereka sudah memenangkan
perlombaan, yakni berlari sampai garis finish sebagai seorang imam. Inilah puncak
cita-cita seorang imam, yakni ketika ia mati tetap sebagai imam.
Saya pun mencita-citakan hal serupa, yakni
mati sebagai imam. Saya mencita-citakan hal tersebut terhitung sejak saya
sadar betul bahwa tidak mudah mempertahankan hidup imamat ini. Saya sadar hanya
dalam kurun waktu 6 bulan imamat saya, tidak terlalu lama. Tantangan dari luar
dan kelemahan dari dalam diri menjadi alasan kenapa memang sangat susah hidup
sebagai seorang imam yang berjanji untuk selibat, sederhana, dan taat. Karena
susah dan beratnya hal ini, maka jalan keluarnya hanya ada dua, yakni ATAU kamu
memilih mundur dari hidup imamat ini, ATAU kamu segera mati. Dan saya lebih
suka memilih mati. Kalau bisa segera.
RD Kusdi, romo diosesan Surabaya yang sangat menyenangkan. |
Jangan dilihat bahwa pilihan ini adalah
pilihan yang pesimistis. Jangan dilihat juga sebagai pilihan yang tidak
heroik karena dianggap pengecut, tidak berani menghadapi tantangan. Pilihan
untuk mati ini merupakan jalan keluar untuk tetap setia sebagai imam dan setia
terhadap idealisme imamat saya. Pasalnya, tidak seorang pun dari imam dapat
menjamin bahwa dirinya akan setia terus menjadi imam sampai mati atau setia
terus pada idealisme imamatnya. Jaminan itu sendiri baru terbukti ketika kematian
menjemputnya dan ia dimasukkan ke dalam peti tetap sebagai seorang imam.
Sembari menunggu kematian, saya akan terus
berjuang. Ini sebuah penantian yang aktif, bukan penantian pasif yang
disertai teriakan kepada Allah, “Ambillah
nyawaku sekarang ini ya Allah, aku mencintaiMu!” Cinta kepada Allah lalu
mengharapkan kematian untuk bertemu denganNya memang terdengar saleh dan bagus,
namun cinta kepada Allah yang ditunjukkan melalui perjuangan sekuat tenaga
untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia sangat jauh lebih baik.
Sembari menunggu kematian mendatangi saya, saya mengharapkan kematian
mendatangi orangtua saya terlebih dahulu. Saya bukannya menginginkan
orangtua saya segera mati, melainkan berharap bahwa orangtua tidak mendapati
saya mendahului mereka dalam kematian. Kesedihan terdalam orangtua adalah
ketika mendapati anaknya meninggal, dan saya tidak mengharapkan demikian.
Demikian cita-cita dan skenario kematian yang saya idam-idamkan sebagai
seorang imam. Saya senantiasa mengingatkan hal ini kepada Tuhan dan semoga
Tuhan berkenan mengabulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar